MAQAMAT
DAN AHWAL
Disusun oleh : Khaerul Umam
Agus
Cipto Prasetyo
1. Maqamat
Kata
maqam, di definisikan sebagai suatu
tahap adab (etika) kepada Nya dengan bermacam usaha di wujudkan untuk satu
tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahap nya
sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadhah (exercise) menuju kepadanya. Maqamat adalah jalan yang harus di tempuh seorang sufi untuk berada
dekat dengan Allah.
Dalam pandangan Ath-Thusi sebagaiman
di kutip oleh Rosikhon Anwar dan M. Al-Fatih bahwa maqamat adalah kedudukan
hamba (salik) dalam perjalanannya
menuju Allah SWT melalui ibadah, kwaungguhan melawan rintangan (al-mujahadat), dan latihan- latihan
rohani (Ar-riyadhoh). Di antara
tingkayan maqamat adalah : taubat, zuhud,
wara’, faqir, sabar, tawakkal, dan ridho. Secara umum pemahamannya sebagai
berikut :
1. Taubat, yaitu
memohon ampun di sertai janji tidak akan mengulangi.
2. Zuhud, yaitu
meninggalkan kehidupan dunia (dalam hal kemaksiatan) dan mengutamakan keutamaan
di akhirat.
3. Wara’, yaitu meninggalkan segala hal yang syubhat (tidak jelas halal haramnya).
4. Faqir,
yaitu tidak meminta lebih dari apa
yang sudah di terima.
5. Sabar, yaitu
tabah dalam menjalankan perintah Allah SWT dan tenang menghadapi cobaan.
6. Tawakkal,
yaitu berserah diri pada qadha dan keputusan Allah.
7. Ridho, yaitu tidak berusaha menentang qadha allah.[1]
Banyak
jalan yang harus di lalui para sufi dalam meraih cita-cita dan tujuan mereka
untuk untuk mendekatkan diri kepada allah SWT seperti memperbanyak zikir,
beramal soleh, dan sebagainya. Dan tahapan-tahapan tersebut di namakan maqmat [2]
Para ahli tasawuf
berbeda pendapat mengenai susunan tingkatan-tingkatan maqamat (station-station). Dalam kaitan ini, Abu
Nashr as-Sarj at-Thusi dalam kitab Al-luma’
fii al tashawuf , menyebutkan 7 macam
secara berurut, yaitu : taubat, wara’,
zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan ridho. Ini membuktikan bahwa untuk
memasuki perjalanan rohani menuju Tuhan, stasiun pertama yang harus dimasuki
adalah pintu taubat yang didalamnya berlangsung proses penyucian jiwa dari
segala kotoran.
2. Ahwal
Ahwal
adalah bentuk jama’ dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan mental
yang dialami para sufi disela-sela perjalanan spiritualnya. Ibnu ‘Arabi
menyebutkan hal sebagai sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan
tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana. Eksistensinya
bergantung pada sebuah kondisi, ia akan sirna mana kala kondisi tersebut tidak
lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dan dipahami tapi dapat dirasakan oleh orang
yang mengalaminya yang karena nya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata. Yang
dinamakan hal adalah apa yang di
dapatkan orang tanpa di cari (hibbah dari
allah SWT).
Keadaan
atau kondisi psikologis ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Menurut
Al-thusi, keadaan (hal) tidak termasuk usaha latihan-latihan rohaniyah. Dan
para sufi menegaskan perbedaan maqam dan hal[3]
Sedangkan dalam maqamat di dapatkan dengan di
cari (diusahakan) dengan kata lain hal
itu bukan usaha manusia tetapi anugrah allah setelah seoarang berjuang dan
berusaha melewati maqam tashowuf. Yang termasuk ahwal antara lain : persaan
dekat, cinta, takut, harap, rindu, yakin, dan puas terhadap tuhan, serta
tentram dan musyahadah (perasaan
menyaksikan kehadiran tuhan).
Dalam
pandangan harun nasution sebgaimana dikutip oleh Abuddin Nata, hal merupakan
keadaan mental, seperti perasaan sedih/menangis, takut, senang, dan sebagainya.
Oleh karena itu ada istilah-istilah lain yang termasuk kategori hal, al- muroqobat wa al-qurb, al-khauf, wa
ar-raja’ (takut dan penuh harap) at-tuma’ninah (perasaan tenang dan
tentram), al-musyahadat (menyaksikan
dalam pandangan batin), al-yaqin (penuh dengan keyakinan yang mantap) al-uns
(rasa berteman), at-tawadlu (rendah hati dan rendah diri), at-taqwa (patuh) ,
al-wajd (gembira hati), asy-syukr (berterima kasih), al-ikhlas,
Dengan
demikian antara maqamat dan ahwal merupakan dua prinsip dalam kajian tasawuf
yang tidak bisa dipisahkan. Maqamat dengan usaha dan kerja keras yang maksimal,
kemudian hasilnya merupakan anugrah dari Allah SWT berupa perasaan dan
keadaan-keadaan (ahwal) yang di alami oleh seorang salik menuju tuhannya.[4]
[1]
Badrudin,”akhlaq tasawuf”(Serang:IAIB
PRESS, cet II, September 2015),hlm.107-108
[2]
Asep Nursyamsi, “buku ajar akhlaq
tasawuf”,tasimalaya, 17 juli 2013M, hlm.46.
[3]
Asep Nursyamsi, “buku ajar akhlaq
tasawuf”,tasimalaya, 17 juli 2013M, hlm.46
[4]
Badrudin,”akhlaq tasawuf”(Serang:IAIB
PRESS, cet II, September 2015),hlm.110-111
minta masukan dong
BalasHapus